Ibn Ghannam salah seorang murid dari ulama Muhammad bin Abdul Wahhab menuliskan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
“Aku pada waktu itu tidak mengerti makna la ilaha illallah dan tidak
mengerti agama Islam, sebelum kebaikan yang dianugerahkan oleh Allah.
Demikian pula guru-guruku, tidak seorang pun di antara mereka yang
mengetahui hal tersebut.
Barangsiapa yang berasumsi di antara ulama Aridh (Riyadh) bahwa ia
mengetahui makna la ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum
waktu ini, atau berasumsi bahwa di antara guru-gurunya ada yang
mengetahui hal tersebut, berarti ia telah berdusta, mereka-reka
(kebohongan), menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang
tidak dimilikinya.” (Ibn Ghannam, Tarikh Najd hal. 310).
Perkataan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut termuat pula dalam kitab Beliau sendri yakni Muallafaat, terbitan Jami’ah Ummul Qura Makkah Al Mukarramah pada bagian Ar Rasail Asy Syakhsiyyah halaman 186-187
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku bahwa sebelum menyebarluaskan
ajaran Wahabi tidak mengerti makna la ilaha illallah serta dianggapnya
guru-gurunya dan yang lainnya tidak pula mengerti makna la ilaha
illallah.
Jadi ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku bahwa beliau sajalah
yang dikaruniakan oleh Allah Azza wa Jalla makna la ilaha illallah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang
bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak
bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu
menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang
ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka
hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih
maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya
dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi
semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka
semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan
menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits
Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga
orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan.
kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR.
Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan
adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku
menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah
sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa
menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari
kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang
mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat
bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan
masuk neraka“
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi
antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara
pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya
orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa
menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru
kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya.
Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya
sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan
Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada
Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari
Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan
terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri,
sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan
menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan
adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati
sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang
dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang
benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan
buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali
(ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak
dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu)
mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam
dada.” (al Hajj 22 : 46)
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS
Al-Ahzab:21)
Ulama yang dekat dengan Allah adalah ulama yang ihsan atau ulama yang berakhlakul karimah.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya
(bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi
oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu menyaksikan Allah
dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat
sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya ,
menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar
sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang
sholeh atau muslim yang ihsan.
Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau
muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya,
selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang
hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat,
sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah
engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab:
“Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda
melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang,
tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai
kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya
Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan
keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan
perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat
Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas
yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya
kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri
senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu
jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri
mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh
sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa
selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak
ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar
sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah
segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain
Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam
menjalani ujian di RumahNya”.
Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta) dalam sebuah wawancara menyatakan bahwa “untuk dapat melihat
Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus
dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik,
baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar
mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui
rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia
yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli
tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki”.
Ulama yang ihsan atau ulama yang berakhlakul karimah adalah ulama
telah meraih maqom (derajat) disisi Nya sehingga terbukti dapat
menyaksikan Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh) dan akan
berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya
tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan
kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia)
kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami
benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad
[38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada
Allah sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih
Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan
menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang
bermakrifat.
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang
mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah
keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal
tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah
mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini
sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada
Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan
secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka
adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat
untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan
maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd
(hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal
yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang
dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah
serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus
menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas
diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah,
yaitu: (1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari
hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang
dibolehkan.
Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan
batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia
bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang
berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata,
lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari
perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan
rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu
mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap
shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah.
Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya
dengan sungguh-sungguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi
hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah)
dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka
dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki
peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada
martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada
Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali
yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun,
al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna
tingkat kewalian mereka.hanya
saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian
tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu
pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia
sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah.
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan
terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan
kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua
merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang
sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl
al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua
disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam
beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan
Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur
kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan
kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami
pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk
kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali
melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah
baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut
dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada
pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama
Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di
antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan
bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’
pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan
mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah
suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan
karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda,
wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas
mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia
merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka
cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada
manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula
syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam
mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki
bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami
menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena
Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka
itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh
wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya,
dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak
susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ”
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus
[10]:62)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Sumber: http://mutiarazuhud.wordpress.com/tag/makna-la-ilaha-illallah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar