Kamis, 19 Juni 2014

Syaikh Nashiruddin al-Albani Belajar Hadist secara Otodidak dan Bukan Ahli Hadist

Sumber :  https://www.facebook.com/arwah.wahaby

Syaikh Albani awalnya adalah tukang service jam, namun ia punya semangat mempelajari hadis di Perpustakaan Adh-Dhahiriyah di Damaskus. Konon setiap harinya mencapai 12 jam di Perpustakaan. Tidak pernah istirahat menelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan. Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, Al-Albani makin leluasa mempelajari banyak sumber.

Sekilas biografi di atas sesuai dengan kisah berikut ini. Diceritakan bahwa ada seseorang dari Mahami yang bertanya kepada Syaikh Albani: “Apakah anda ahli hadis (Muhaddis)?” Syaikh Albani menjawab: “Ya!” Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadis kepada saya beserta sanadnya!” Syaikh Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadis penghafal, saya ahli hadis kitab.” Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadis ada kitabnya.” Lalu Syaikh Albani terdiam (Baca Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)

Ini menunjukkan bahwa Syaikh Albani adalah Shahafi atau otodidak ketika mendalami hadis dan ia sendiri mengaku bukan penghafal hadis. Dalam ilmu Musthala’ah Hadis jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status hadisnya adalah dlaif, bukan perawi sahih. Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh Syaikh Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadis) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan. Bahwa Albani tidak mempelajari hadis dari para ahlinya ini dibuktikan dalam kitab-kitab biografi tentang Albani yang ditulis oleh para pengikutnya seperti ‘Hayatu al- Albani’ karya asy-Syaibani, ‘Tsabat Muallafat al-Albani’ karya Abdullah bin Muhammad asy-Syamrani dan sebagainya.



Pada umumnya tatkala kita membuka kitab- kitab biografi para ulama, di depan mukaddimah terdapat sejarah tentang perjalanan menuntut ilmu dan para gurunya. Namun hal ini tidak terjadi dalam buku-buku biografi Albani, justru yang disebutkan oleh pengikutnya adalah untaian kalimat miris berikut ini:



ﻋُﺮِﻑَ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦُ ﺍْﻷَﻟْﺒَﺎﻧِﻲ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻘِﻠَّﺔِ ﺷُﻴُﻮْﺧِﻪِ ﻭَﺑِﻘِﻠَّﺔِ ﺇِﺟَﺎﺯَﺍﺗِﻪِ
ﻓَﻜَﻴْﻒَ ﺍﺳْﺘَﻄَﺎﻉَ ﺃَﻥْ ﻳُﻠِّﻢَّ ﺑِﺎﻟْﻌُﻠُﻮْﻡِ ﻭَﻻَ ﺳِﻴَّﻤَﺎ ﻋِﻠْﻢِ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻭَﻋِﻠْﻢِ ﺍﻟْﺠَﺮْﺡِ ﻭَﺍﻟﺘَّﻌْﺪِﻳْﻞِ ﻋَﻠَﻰ ﺻُﻌُﻮْﺑَﺘِﻪِ ؟
(ﺛﺒﺖ ﻣﺆﻟﻔﺎﺕ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ ﻟﻌﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺸﻤﺮﺍﻧﻲ 7

“Syaikh Albani dikenal dengan sedikitnya guru dan minimnya ijazah dalam hadis. Maka bagaimana ia mampu memperdalam ilmu-ilmu, apalagi ilmu hadis dan ilmu tentang metode memberi penilaian cacat dan adil yang sangat sulit?” (Tsabat Muallafat al-Albani’ karya Abdullah bin Muhammad asy-Syamrani, 7) Ini adalah sebuah pengakuan dan pertanyaan yang tak pernah dijawab oleh muridnya sendiri?! Kesalahan Albani Dikoreksi Para Pengikutnya.

Penilaian yang bersifat obyektif adalah koreksi yang secara sadar disampaikan sendiri oleh para pengikut Albani. Abdullah ad-Dawisy yang merupakan pengikut Wahhabi memberi otokritik kepada Albani yang dinilainya sering ‘tanaqudh’ (kontradiksi) dan memberi ‘warning’ (peringatan) kepada para penelaah kitab Albani agar tidak ‘tertipu’ dengan penilaian Albani tentang kedhaifan hadis. Berikut pembuka komentarnya:

 
ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ : ﻓَﻬَﺬِﻩِ ﺃَﺣَﺎﺩِﻳْﺚُ ﻭَﺁﺛَﺎﺭٌ ﻭَﻗَﻔْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻓِﻲ ﻣُﺆَﻟَّﻔَﺎﺕِ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻧَﺎﺻِﺮِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﺍْﻷَﻟْﺒَﺎﻧِﻲ ﺗَﺤْﺘَﺎﺝُ ﺇِﻟَﻰ ﺗَﻨْﺒِﻴْﻪٍ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻣَﺎ ﺿَﻌَّﻔَﻪُ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻌَﻘَّﺒْﻪُ ﻭَﻣِﻨْﻬَﺎ ﻣَﺎ ﺿَﻌَّﻔَﻪُ ﻓِﻲ ﻣَﻮْﺿِﻊٍ ﻭَﻗَﻮَّﺍﻩُ ﻓِﻲ ﻣَﻮْﺿِﻊٍ ﺁﺧَﺮَ ﻭَﻣِﻨْﻬَﺎ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻴْﻪِ ﻟَﻢْ ﺃَﺟِﺪْﻩُ ﺃَﻭْ ﻟَﻢْ ﺃَﻗِﻒْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻭْ ﻧَﺤْﻮَﻫُﻤَﺎ ، ﻭَﻟَﻤَّﺎ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻳَﺄْﺧُﺬُﻭْﻥَ ﺑِﻘَﻮْﻟِﻪِ ﺑِﺪُﻭْﻥِ ﺑَﺤْﺚٍ ﻧَﺒَّﻬْﺖُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻳَﺴَّﺮَﻧِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ . ﻓَﻤَﺎ ﺿَﻌَّﻔَﻪُ ﻭَﻫُﻮَ ﺻَﺤِﻴْﺢٌ ﺃَﻭْ ﺣَﺴَﻦٌ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻌَﻘَّﺒْﻪُ ﺑَﻴَّﻨْﺘُﻪُ ﻭَﻣَﺎ ﺿَﻌَّﻔَﻪُ ﻓِﻲ ﻣَﻮْﺿِﻊٍ ﺛُﻢَّ ﺗَﻌَﻘَّﺒَﻪُ ﺫَﻛَﺮْﺕُ ﺗَﻀْﻌِﻴْﻔَﻪُ ﺛُﻢَّ ﺫَﻛَﺮْﺕُ ﺗَﻌْﻘِﻴْﺒَﻪُ ﻟِﺌَﻼَّ ﻳَﻘْﺮَﺃَﻩُ ﻣَﻦْ ﻻَ ﺍﻃِّﻼَﻉَ ﻟَﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﻮْﺿِﻊِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺿَﻌَّﻔَﻪُ ﻓِﻴْﻪِ ﻓَﻴَﻈُﻨُّﻪُ ﺿَﻌِﻴْﻔًﺎ ﻣُﻄْﻠَﻘًﺎ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﺍْﻷَﻣْﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻇَﻨَّﻪُ (ﺗﻨﺒﻴﻪ ﺍﻟﻘﺎﺭﺉ ﻋﻠﻰ ﺗﻘﻮﻳﺔ ﻣﺎ ﺿﻌﻔﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ ﻋﺒﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺪﻭﻳﺶ 5 )

“Kitab ini terdiri dari hadist dan atsar yang saya temukan dalam kitab-kitab Syaikh Albani yang memerlukan peringatan, diantaranya hadis yang ia nilai dhaif tapi tidak ia ralat, diantaranya juga hadis yang ia nilai dhaif di satu kitab tetapi ia sahihkan di kitab yang lain, juga yang ia katakan ’saya tidak menemukannya’ (padahal dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadis), dan sebagainya. Ketika saya melihat banyak orang yang mengambil keterangan dari Albani tanpa meneliti maka saya ingatkan, sesuai yang dimudahkan oleh Allah kepada saya. Maka, apa yang didhaifkan oleh Albani padahal hadis itu sahih atau hasan, maka saya jelaskan. Juga hadis yang didhaifkan Albani di satu kitab tapi ia ralat, maka saya sebutkan penilaian dhaifnya dan ralatannya tersebut. Supaya tidak dibaca oleh orang yang tidak mengerti di bagian kitab yang dinilai dhaif oleh Albani sehingga ia menyangka bahwa hadis itu dhaif secara mutlak, padahal hakikatnya tidak seperti itu” (Tanbih al-Qari’, 5)

Kritik Ad-Dawisy ini dipuji oleh penulis biografi Albani, asy-Syamrani, yang dinilainya memuliakan dan memiliki sopan santun kepada Syaikh Albani (Baca kitab Asy- Syamrani, Tsabat Muallafat Albani, 98) Contoh kongkrit adalah hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud di bawah ini yang dinilai dhaif oleh Albani dalam kitab Takhrij Ahadits al-Misykat 1/660:

 ﻋﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﺍﻟﺠﻬﻨﻲ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣَﻦْ ﻗَﺮَﺃَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻭَﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻤَﺎ ﻓِﻴﻪِ ﺃُﻟْﺒِﺲَ ﻭَﺍﻟِﺪَﺍﻩُ ﺗَﺎﺟًﺎ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺿَﻮْﺀُﻩُ ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﻣِﻦْ ﺿَﻮْﺀِ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲِ ﻓِﻲ ﺑُﻴُﻮﺕِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ، ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﻓَﻤَﺎ ﻇَﻨُّﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺬَﺍ » . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ . ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺗﺨﺮﻳﺞ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﻤﺸﻜﺎﺓ : ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺿﻌﻴﻒ ( ﺟـ 1 ﺹ 660) . ﺍﻧﺘﻬﻰ . ﺃﻗﻮﻝ : ﻟﻴﺲ ﺍﻷﻣﺮ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ : ﺑﻞ ﺣﺴﻦ ﺃﻭ ﺻﺤﻴﺢ . ﻭﻟﻌﻠﻪ ﻟﻢ ﻳﻄﻠﻊ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻳﺸﻬﺪ ﻟﻪ ﻭﻗﺪ ﻭﺭﺩ ﻣﺎ ﻳﺸﻬﺪ ﻟﻪ ﻭﻳﻘﻮﻳﻪ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺑﺮﻳﺪﺓ … ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻁ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻘﺪ ﺧﺮﺝ ﻟﺒﺸﻴﺮ ﺑﻦ ﻣﻬﺎﺟﺮ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ ، ﻭﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺻﺤﺤﻪ . ﻭﻭﺍﻓﻘﻪ ﺍﻟﺬﻫﺒﻲ ، ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻬﻴﺜﻤﻲ ﻓﻲ ﻣﺠﻤﻊ ﺍﻟﺰﻭﺍﺋﺪ (ﺟـ 7 ﺹ 159 ) : ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺭﺟﺎﻟﻪ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﺫﻛﺮ ﻟﻪ ﺷﻮﺍﻫﺪ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﻭﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻭﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﺟﺒﻞ . ﻭﺑﺎﻟﺠﻤﻠﺔ ﻓﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﻗﻞ ﺃﺣﻮﺍﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺴﻨًﺎ ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺼﺤﺘﻪ ﻟﻴﺲ ﺑﺒﻌﻴﺪ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ (ﺗﻨﺒﻴﻪ ﺍﻟﻘﺎﺭﺉ ﻋﻠﻰ ﺗﻘﻮﻳﺔ ﻣﺎ ﺿﻌﻔﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ 7 )

Ad-Dawisy berkata: “Yang benar tidak seperti yang dikatakan Albani. Bahkan hadis ini adalah hasan atau sahih! Bisa jadi Albani tidak mengetahui hadis penguat lain (syahid) dari riwayat Buraidah yang sanadnya sesuai kriteria sahih Muslim yang disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Alhaitsami berkata dalam Majma’ az-Zawaid (7/159): HR Ahmad, perawinya adalah perawi hadis sahih. Secara umum, hadis ini minimal adalah hasan, dan pendapat yang menyatakan sahih dapat diterima” (Tanbih al-Qari’, 7) Jika ad-Dawisy mampu mematahkan keilmuan Albani di bidang hadis, lalu mengapa Wahhabi masih taklid buta kepada Albani? Abdullah bin Muhammad ad-Dawisy menilai kontradiksi Albani yang dinilainya dlaif di satu kitab tetapi ia sahihkan di kitab lain berjumlah 294 hadis. Sementara yang sebaliknya (dari sahih ke dhaif) berjumlah 13 hadis (Baca keseluruhan kitab Tanbih al-Qari’). Sebuah kesalahan fatal bagi ahli hadis yang tak pernah terjadi sebelumnya dan Albani adalah pemecah rekornya! Dalam Shofware kitab Maktabah asy-Syamilah yang sudah popular, terdapat sebuah kitab yang memuat ralatan atas kesalahan penilaian Albani dalam masalah hadis, anehnya kitab ini tidak disebutkan pengarangnya tetapi masuk ke dalam folder kitab-kitab Albani. Kitab tersebut bernama ‘Taraju’at Syaikh Albani’.

Dalam kitab tersebut memuat beberapa kesalahan Albani dengan rincian sebagai berikut: Dhaif ke sahih atau hasan sebanyak 114 hadis, sahih atau hasan ke dlaif sebanyak 71 hadis, Hasan ke sahih atau sebaliknya sebanyak 9 hadis, dlaif ke maudlu’ sebanyak 6 hadis. Dengan demikian kesemuanya berjumlah 200 hadis Kesalahan Dalam Karya-Karya Syaikh Albani Kesalahan Albani tidak hanya diakui oleh murid- muridnya sendiri. Kenyataan di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitabnya berjudul ‘al-Halal wal-Haram fil-Islam’, sebagai berikut: “Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al- Albani tentang dha’if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath’i (pasti) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya) dalam kitab lain”. (Lihat Halal dan Haram, DR. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, Jakarta, 2000, hal. 417).

Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang “ tanaqudh”. Berikut beberapa bukti kongkrit kontradiksi Albani dalam menilai hadis yang telah diteliti oleh Syaikh Hasan bin Ali Assegaf (Cucu Sayyid Abdurrahman Assegaf pengarang kitab Syarah Fathul Muin, Tarsyih al- Mustafidin) dalam kitab beliau yang bernama ‘Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat’:

 Hadis Pertama
ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﻮﺩ ﺑﻦ ﻟﺒﻴﺪ ﻗﺎﻝ : ﺃﺧﺒﺮ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻋﻦ ﺭﺟﻞ ﻃﻠﻖ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﺛﻼﺙ ﺗﻄﻠﻴﻘﺎﺕ ﺟﻤﻴﻌﺎ ، ﻓﻘﺎﻡ ﻏﻀﺒﺎﻥ ، ﺛﻢ ﻗﺎﻝ : ( ﺃﻳﻠﻌﺐ ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰﻭﺟﻞ ﻭﺃﻧﺎ ﺑﻴﻦ ﺃﻇﻬﺮﻛﻢ ؟ (! ﺣﺘﻰ ﻗﺎﻡ ﺭﺟﻞ ﻓﻘﺎﻝ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻻ ﺃﻗﺘﻠﻪ ؟ ! ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ . ﺿﻌﻔﻪ ﺍﻻﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﺗﺨﺮﻳﺞ ( ﻣﺸﻜﺎﺓ ﺍﻟﻤﺼﺎﺑﻴﺢ ) ﺍﻟﻄﺒﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ، ﺑﻴﺮﻭﺕﺳﻨﺔ 1405 ﻫ ﺍﻟﻤﻜﺘﺐ ﺍﻻﺳﻼﻣﻲ (2 / 981) ﻓﻘﺎﻝ : ﻭﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ ﻟﻜﻨﻪ ﻣﻦ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻣﺨﺮﻣﺔ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﺴﻤﻊ ﻣﻨﻪ . ﺍﻫ ﺛﻢ ﺗﻨﺎﻗﺾ ﻓﺼﺤﺤﻪ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ (ﻏﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺮﺍﻡ ﺗﺨﺮﻳﺞ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺤﻼﻝ ﻭﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ) ﻃﺒﻌﺔ ﺍﻟﻤﻜﺘﺐ ﺍﻻﺳﻼﻣﻲ ، ﺍﻟﻄﺒﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ 1405 ﻫ ﺻﻔﺤﺔ ( 164) ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ ( 261 )

“Albani menilainya dlaif dalam Misykat al-Mashabih (Juz II hal. 981. Cetakan III, Beirut, 1405 H, al-Maktab al- Islami). Kemudian ia menilainya sahih dalam Kitab Ghayat al-Maram Takhrij Ahadits al-Halal wa al-Haram (Hal. 164 No hadis: 261, Cetakan III, Maktab al-Islami, 1405 H)”

Hadis Kedua
ﺣﺪﻳﺚ : ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻓﻘﻠﺺ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻈﻞ ﻭﺻﺎﺭ ﺑﻌﻀﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻞ ﻭﺑﻌﻀﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻓﻠﻴﻘﻢ ) ﺃﻗﻮﻝ : ﺻﺤﺤﻪ ﺍﻻﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻘﺎﻝ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮ ﻭﺯﻳﺎﺩﺗﻪ (1 / 266 / 761 ) ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻻﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﺔ : 835 . ﺍﻫ ﺛﻢ ﺗﻨﺎﻗﺾ ﻓﻀﻌﻔﻪ ﻓﻲ : ﺗﺨﺮﻳﺞ ( ﻣﺸﻜﺎﺓ ﺍﻟﻤﺼﺎﺑﻴﺢ ) (3 / 1337 / ﺑﺮﻗﻢ 4725 ﺍﻟﻄﺒﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ) ﻭﻗﺪ ﻋﺰﺍﻩ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻮﺿﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ .

“Albani menilainya sahih dalam Kitab Sahih al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuhu (I/266) dan Sahih al-Hadits ash-Shahihah No 835. Kemudian Albani menilainya dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (Juz III, hal. 1337 No hadis: 4725 Cetakan III)”

Hadis Ketiga
ﺣﺪﻳﺚ : ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﺣﻖ ﻭﺍﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ … ﺿﻌﻔﻪ ﺍﻻﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ : ﺗﺨﺮﻳﺞ ( ﻣﺸﻜﺎﺓ ﺍﻟﻤﺼﺎﺑﻴﺢ ) ( 1 / 434) : ﻓﻘﺎﻝ : ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ ﻭﻫﻮ ﻣﻨﻘﻄﻊ ﻛﻤﺎ ﺃﺷﺎﺭ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﺍﻫ ﺑﻤﻌﻨﺎﻩ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺘﻨﺎﻗﻀﺎﺕ ﺃﻧﻪ : ﺃﻭﺭﺩ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﻲ ﺇﺭﻭﺍﺀ ﺍﻟﻐﻠﻴﻞ (3 / 54 / ﺑﺮﻗﻢ 592) ﻭﻗﺎﻝ : ﺻﺤﻴﺢ . ﺍﻫ ﻓﺘﺪﺑﺮﻭﺍ ﻳﺎ ﺃﻭﻟﻲ ﺍﻻﻟﺒﺎﺏ .



Albani menilai dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/434), ia berkata: Perawinya terpercaya tetapi hadis ini terputus sebagaimana isyarah Abu Dawud. Namun hadis ini dicantumkan oleh Albani dalam Kitab Irwa’ al-Ghalil (III/54 No hadis: 592). Albani berkata: “Hadis ini sahih”Hadis Keempat ﺣﺪﻳﺚ : ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﻣﺮﻓﻮﻋﺎ : ( ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻨﺪﺍﺀ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ . ﺻﺤﺤﻪ ﺍﻻﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ : (ﺇﺭﻭﺍﺀ ﺍﻟﻐﻠﻴﻞ) (3 / 58) ﻓﻘﺎﻝ : ﺣﺴﻦ . ﺍﻫ ﻭﻧﺎﻗﺾ ﻧﻔﺴﻪ ﻓﻀﻌﻔﻪ ﻓﻲ : ﺗﺨﺮﻳﺞ ﻣﺸﻜﺎﺓ ﺍﻟﻤﺼﺎﺑﻴﺢ 1 / 343) ( ﺑﺮﻗﻢ 1375) ﺣﻴﺚ ﻗﺎﻝ : ﺳﻨﺪﻩ ﺿﻌﻴﻒ . ﺍﻫ



“Albani menilai sahih dalam Kitab Irwa’ al-Ghalil (III/58). Albani berkata: “Hadis ini hasan”. Tetap Albani menilainya dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/343 No hadis 1375). Albani berkata: “Sanadnya dlaif”

Hadis Kelima
ﺣﺪﻳﺚ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ : ( ﻻ ﺗﺸﺪﺩﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ ﻓﻴﺸﺪﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺈﻥ ﻗﻮﻣﺎ ﺷﺪﺩﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻓﺸﺪﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ . . .) ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ . ﺿﻌﻔﻪ ﺍﻻﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ : ( ﺗﺨﺮﻳﺞ ﺍﻟﻤﺸﻜﺎﺓ) (1 / 64) ﻓﻘﺎﻝ : ﺑﺴﻨﺪ ﺿﻌﻴﻒ ﺍﻫ . ﺛﻢ ﺗﻨﺎﻗﺾ ﻓﺤﺴﻨﻪ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ ﺗﺨﺮﻳﺠﻪ ﻓﻲ (ﻏﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺮﺍﻡ) ﺹ ( 141) ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﺣﻜﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﻫﻨﺎﻙ ﺃﻳﻀﺎ ﺑﺎﻟﻀﻌﻒ ﻓﻘﺎﻝ : ﻓﻠﻌﻞ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﻫﺬﺍ ﺣﺴﻦ ﺑﺸﺎﻫﺪﻩ ﺍﻟﻤﺮﺳﻞ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻗﻼﺑﺔ . ﺍﻫ



“Albani menilai dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/64). Albani berkata: “Diriwayatkan dengan sanad yang dlaif. Tapi Albani menilainya hasan dalam Kitab Ghayat al-Maram hal. 141, setelah menghukuminya dlaif, Albani berkata: “Semoga hadis ini hasan dengan dalil penguat secara Mursal dari Abu Qilabah”

Hadis Keenam
ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﺴﻴﺪﺓ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ : ( ﻣﻦ ﺣﺪﺛﻜﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﺒﻮﻝ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﻓﻼ ﺗﺼﺪﻗﻮﻩ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﺒﻮﻝ ﺇﻻ ﻗﺎﻋﺪﺍ) ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ . ﺿﻌﻔﻪ ﺍﻻﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﺗﺨﺮﻳﺞ ( ﻣﺸﻜﺎﺓ ﺍﻟﻤﺼﺎﺑﻴﺢ) (1 / 117 ) ﻓﻘﺎﻝ : ﺍﺳﻨﺎﺩﻩ ﺿﻌﻴﻒ ﺍﻫ ﺛﻢ ﻣﻦ ﺗﻨﺎﻗﻀﺎﺗﻪ ﺃﻧﻪ ﺻﺤﺤﻪ ﻓﻲ ﺳﻠﺴﻠﺔ ﺍﻻﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﺔ (1 / 345 ﺑﺮﻗﻢ 201) ﻓﺘﺄﻣﻞ ﺃﺧﻲ ﺍﻟﻘﺎﺭﺉ


“Albani menilai dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/171). Albani berkata: “Sanadnya dlaif”. Tapi Albani menilainya sahih dalam Silsilah al-Ahadits ash- Shahihah (I/345 No hadis 201)”
Hadis Ketujuh
ﺣﺪﻳﺚ : ﺛﻼﺛﺔ ﻻ ﺗﻘﺮﺑﻬﻢ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺟﻴﻔﺔ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﻭﺍﻟﻤﺘﻀﻤﺦ ﺑﺎﻟﺨﻠﻮﻕ ﻭﺍﻟﺠﻨﺐ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺘﻮﺿﺄ) ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ . ﺻﺤﺤﻪ ﺍﻻﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ (ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮ ﻭﺯﻳﺎﺩﺗﻪ) (3 / 71 ﺑﺮﻗﻢ 3056) ﻓﻘﺎﻝ : ﺣﺴﻦ ﺗﺨﺮﻳﺞ ﺍﻟﺘﺮﻏﻴﺐ (1 / 91) . ﺍﻫ ﻭﻣﻦ ﺗﻨﺎﻗﻀﺎﺗﻪ ﺃﻧﻪ ﺿﻌﻔﻪ ﻓﻲ ﺗﺨﺮﻳﺞ ( ﻣﺸﻜﺎﺓ ﺍﻟﻤﺼﺎﺑﻴﺢ) (1 / 144 ﺑﺮﻗﻢ 464) ﻓﻘﺎﻝ : ﻭﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ ﻟﻜﻨﻪ ﻣﻨﻘﻄﻊ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﺒﺼﺮﻱ ﻭﻋﻤﺎﺭ ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺴﻤﻊ ﻣﻨﻪ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﻨﺬﺭﻱ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺮﻏﻴﺐ ( 1 / 91 ) .


“Albani menilainya sahih dalam kitab Sahih al-Jami’ No 3056, ia berkata: “hadis ini hasan”. Tetapi Albani menilainya dhaif dalam Kitab Tajhrij Misykat al- Mashabih No 464. Albani berkata: “Perawinya terpercaya, tetapi hadis ini terputus antara Hasan Bashri dan Ammar” Syaikh Hasan bin Ali Assegaf dalam Kitabnya ‘Tanaqudhat al-Albani al-Qadhihat’ dalam Juz Pertama memuat 249 kesalahan Albani, baik dari sahih ke dhaif maupun sebaliknya.

Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al- Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan.



Di antara Ulama Islam yang mengkritik Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-’Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al- Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa’id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf’u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A’zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al- Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi-red) yang menyatakan bahwa Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain.
 

Senin, 02 Juni 2014

PENGERTIAN BID`AH YANG SEBENARNYA

Bid'ah menurut Ahlu Sunnah Waljama'ah

Penulis Von Edison Alouisci
Sumber:  http://www.facebook.com/von.edison.alouisci

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:

مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.

Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ

“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya.

Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat.

Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja.

Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru).
Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”.

Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis).
Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.

Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).

Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:

اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.

“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)

Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.

“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.

Macam-Macam Bid’ah

Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:

Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.

Kedua: Bid’ah Huda. Disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu.

Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti : al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua:

  1. Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji)
  2. Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.

Menurut al-Imam Abu Muhammad Izzudin bin Abdissalam,

Bid’ah adalah:
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah di kenal(terjadi) pada masa Rasulullah SAW”.
(qawa’id al- Ahkam fi mashalih al-Anam, juz 11, hal 172)

Sebagian besar ulama membagi Bid’ah menjadi lima macam:

1) Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain.Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW secara sempurna.

2) Bid’ahn Muharramah, Yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’. Seperti madzhab Jabariyyaah dan Murji’ah.

3) Bid’ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, shalat tarawih secara berjamaah, mendirikan madrasah dan pesantren.

4) Bid’ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.

5) Bid’ah Mubahah, seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat.
(Qawa’id al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam, Juz, 1 hal, 173)

Maka tidak heran jika sejak dahulu para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua bagian besar.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’I RA yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari:

“Sesuatu yang diada – adakan itu ada dua macam. (Pertama), sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar sahabat atau Ijma’ulama. Ini disebut dengan bid’ah dhalal (sesat). Dan (kedua, jika) sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’). Maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela”. (Fath al-Bari, juz XVII, hal 10)

Syaikh Nabil Husaini menjelaskan sebagai berikut:

“Para ahli ilmu telah membahas persoalan ini kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Yang dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai kepada kitab Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Keberadaan bid’ah hasanah ini masuk dalam bingkai sabda nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (Sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyiah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa-dosa yang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”.

Dan juga berdasarkan Hadist Shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA ,”Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh semua muslim, maka perbuatan tersebut baik menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk orang-orang Islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk”. Hadist ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Amah” (al-Bid’ah al-Hasanah, wa Ashluha min al-Kitab wa al-Sunnah, 28)

Dari uraian diatas maka secara umum bid’ah terbagi menjadi dua.

Pertama, bid’ah hasanah,
yakni bid’ah yang tidak dilarang dalam agama karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Dalam konteks inilah perkataan sayyidina Umar bin Khattab RA tentang jama’ah shalat tarawih yang beliau laksanakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (Al-Muaththa’ [231] )


Contoh, bid’ah hasanah
adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara dengan membaca basmalah di bawah seorang komando, memberi nama pengajian dengan istilah kuah(dhliah shubuh, pengajian ahad atau titian senja, menambah bacaan subhanahu wa ta’ala (yang diringkas menjadi SWT) setiap ada kalimat Allah, dan subhanahu alaihi wasallam (yang diringkas SAW) setiap ada kata Muhammad. Serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun tidak bertentangan dengan inti ajaran agam,a Islam.

Kedua, bid’ah sayy’ah(dhalalah),
yakni bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah muharramah dan makruhah dapat digolongkan pada bagian yang kedua ini. Inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “Dari ‘A’isyah RA, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan suatu yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shahid Muslim, [243])

Dengan adanya pembagian ini, dapat disimpulakan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikawatirkan akan menghancurkan sendi – sendi agama Islam. Sedangkan amaliyah yang akan menambah syi’ar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (Shalih li kuli zaman wa makan).

Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah

Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):

1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.

Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.

2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali,

bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.

3. Hadits ‘Aisyah,

bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas:“Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian:

Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat.

Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.

4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya

disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.

Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ

5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud

disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.

Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata:“Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.

6. ‘Abdullah ibn ‘Umar
menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)

“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)

Dalam riwayat lain, tentang shalat Dhuha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)

“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)

Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.

7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’,

bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin,

tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:

هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.

“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).

Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:

1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh.

Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)

“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)

Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.

Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:

صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.

“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)

2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan.
(HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).

3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur.

Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.

Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman. Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.

Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!

4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam,

orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?!

Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!

5. Peringatan Maulid Nabi

adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.

6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan

adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.

7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah

termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan:“Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.

8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh.

Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah.

di antaranya sebagai berikut:

1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin),

di antaranya seperti:

A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah.

Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.

B. Bid’ah Jahmiyyah.

Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.

C. Bid’ah kaum Khawarij.

Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.

D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk.

Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.

Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah


1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata:

“Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)

Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .

Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154). Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.

Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)

Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.

Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.

2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata:

“Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.

Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.

Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.

Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.

3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata:

“Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.

Jawab:

Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.

Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!

4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan:

“Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.

Jawab: Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:

فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.

“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.

As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:

قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.

“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.

Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.

Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.

5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan:

“Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.

Jawab:

Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.

Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!

Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”. Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:

مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)

“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi (hasan) dan Ibn Majah)

Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.

6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan:

“Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

Jawab:

Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”. Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.

Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:

التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم

“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.

Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram. Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.

Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.

HADITS TENTANG SEMUA BID’AH ADALAH SESAT

Kalau memang Bid’ah terbagi menjadi dua, lalun bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa semua bid’ah itu sesat?

Untuk memahami al-qu’ran ataupun hadits, tidak bisa hanya dilihat secara parsial atau hanya melihat arti lahiriah sebuah tek’s. Ada banyak hal yang harus diperhatikan ketika membaca serta menafsirkan al-Qur’an atau al-Hadits. Misalnya kondisi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan. Termasuk pula meneliti teks tersebut dari aspek kebahasaannya, yakni dengan perangkat Ilmu Nahwa, sharaf, Balaghah, Mantiq, dan sebagainya.

Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan arti bid’ah secara bahasa adalah : sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga inti pengertian bid’ah yang sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam sebagaimana disebutkan dalam kitab tuhfatul akhwadzi juz 7 hal 34 menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka terbagi menjadi lima hukum :

Haram, seperti keyakinan kaum Qodariyah dan Mu’tazilah.

Makruh, seperti membuat hiasan-hiasan dalam masjid.

Wajib, seperti belajar ilmu gramatikal bahasa arab (nahwu).

Sunnah, seperti membangun pesantren atau madrasah.

Mubah, seperti jabat tangan setelah shalat.

Alhasil, menurut Imam ‘Izzuddin, “Segala kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, hukumnya bergantung pada tercakupnya dalam salah satu kaidah hukum Islam, haram, makruh, wajib, sunnah, atau mubah. Sebagai contoh, belajar ilmu bahwu untuk menunjang dalam belajar ilmu syariat yang wajib, maka hukum belajar ilmu nahwu menjadi wajib.”.Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal. 6-8.
Penjelasan tentang bid’ah bisa kita ketahui dari dalil-dalil berikut :

1.Hadits riwayat sayyidatina A’isyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم

“Dari ‘Aisyah RA. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak” HR.Muslim.

Hadits ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal maksud yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Para ulama menyatakan bahwa hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni kepada Allah SWT sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ulama membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid’ah ini, yaitu :

Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar dalil-dalil syar’i yang kuat, baik yang parsial (juz’i) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah. Namun jika tidak ada dalil yang dapat dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.

Kedua, memperhatikan pada ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.). Apabila sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.

Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni, mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka perbuatan baru itu tergolong wajib. Dan begitu seterusnya. Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal.6-7.

2. Hadits riwayat Ibn Mas’ud :

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه

“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah.

Hadits inipun sering dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah segala perkara baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in dengan pertimbangan bahwa hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya.

Namun, dalam menanggapi makna hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, terdapat perbedaan pandangan pandangan di kalangan ulama’.

Pertama, ulama’ memandang hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عام مخصوص البعض ),
sehingga makna dari hadits ini adalah “bid’ah yang buruk itu sesat” .
Hal ini didasarkan pada kalimat kullu, karena pada hakikatnya tidak semua kullu berarti seluruh atau semua, adakalanya berarti kebanyakan (sebagian besar).

Sebagaimana contoh-contoh berikut :
Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.

Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15.

Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.

Hadits riwayat Imam Ahmad :

عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ

Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)

Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.

Kedua, ulama’ menetapkan sifat umum dalam kalimat kullu, namun mengarahkan pengertian bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru yang tidak didapatkan di masa Rasulullah SAW, dan tidak ada sandarannya sama sekali dalam usul hukum syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara yang bertentangan dengan syariat baik secara umum atau isi yang terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan demikian, makna hadits di atas adalah setiap perkara baru yang bertentangan dengan syariat adalah sesat, bukan berarti semua perkara baru adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syai’at.

Oleh karena itu, jelas sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan di zaman Nabi adalah sesat. Terbukti, para sahabat juga melaksanakan atau mengadakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, menyatukan jama’ah tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan lain-lain. Sehingga, apabila kalimat kullu di atas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa. Berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.Mawsu’ah Yusufiyyah juz ll hal 488.

kata Kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, namun adakalanya berarti sebagian,

Contoh lain adalah firman Allah SWT:
“Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap – tiap perahu”. (QS.al-Kahfi, 79)

Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi Musa AS dan Nabi Kidhir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Khiddir AS agar tidak diambil oleh raja lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khiddir AS tidak akan merusak bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut. Juga menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tapi berarti sebagian saja, yakni perahu – perahu yang bagus saja yang dirampas.

Maka demikian pula dengan hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya, usaha untuk membukukan al-Qur'an, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari jum’at, shalat tarawih secara berjamaah dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW.

Nah, kalau kullu pada hadits itu diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang – orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan Allah SWT dan Rasul – ny Na. Bahkan di antara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi SAW tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits itu.

Kembali ke Hadist yang berbunyi Rasulullah saw bersabda, 'Sebaik-baiknya perkataan/berita adalah Kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk dari Muhammad. Sementara itu, sejelek-jelek urusan adalah membuat-buat hal yang baru (muhdastatuha) dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." [Lihat misalnya Shahih Muslim, Hadis Nomor [HN] 1.435; Sunan al-Nasa'i, HN 1560; Sunan Ibn Majah

Syarh Sunan al-Nasa'i li al-Suyuti memberikan keterangan apa yang dimakud dengan "muhdastatuha" dalam hadis yang di atas. Disebut muhdastatuha kalau kita membuat-buat urusan dalam masalah Syari'at atau dasar-dasar agama (ushul). Dalam Syarh Shaih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan lebih lanjut bahwa para ulama mengatakan bid'ah itu ada lima macam: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah."

"Yang wajib adalah mengatur argumentasi berhadapan dengan para pelaku bid'ah. Yang mandub (sunnah) adalah menulis buku-buku agama mengenai hal ini dan membangun sekolah-sekolah. Ini tidak ada dasarnya dalam agama namun diwajibkan atau disunnahkan melakukannya. Yang dianggap mubah adalah beraneka ragam makanan sedangkan makruh dan haram sudah nyata dan jelas contohnya.

Jadi kata bid'ah dalam hadis di atas dipahami oleh Suyuti dan Nawawi sebagai kata umum yang maksudnya khusus. Kekhususannya terletak pada persoalan pokok-pokok syari'at (ushul) bukan masalah cabang (furu').

"Jika kita menganggap hadis itu tidak berlaku khusus maka semua yang baru (termasuk tekhnis pelaksanaan ibadah) juga akan jatuh pada bid'ah. Kedua kitab Syarh tersebut juga mengutip ucapan Umar bin Khattab soal shalat tarawih di masanya sebagai 'bid'ah yang baik' (ttg ucapan Umar ini lihat Shahih Bukhari, HN 1871).
Dengan demikian Umar tidak menganggap perbuatan dia melanggar hadis tersebut, karena sesungguhnya yang di-"modifikasi" oleh Umar bukan ketentuan atau pokok utama shalatnya, melainkan tekhnisnya. Mohon dicatat, penjelasan mengenai hadis ini bukan dari saya tetapi dari dua kitab syarh hadis dan keduanya saling menguatkan satu sama lain"

"Kita juga harus berhati-hati dalam menerima sejumlah hadis masalah bid'ah ini. Sebagai contoh, hadis mengenai bid'ah yang tercantum dalam Sunan al-Tirmizi, HN 2701 salah satu rawinya bernama Kasirin bin Abdullah. Imam Syafi'i menganggap dia sebagai pendusta, Imam Ahmad menganggap ia munkar, dan Yahya menganggapnya lemah. Hadis masalah bid'ah dalam Sunan Ibn Majah, HN 48 diriwayatkan oleh Muhammad bin Mihshanin. Tentang dia, Yahya bin Ma'yan mengatakan dia pendusta, Bukhari mengatakan dia munkar, dan Abu Hatim al-Razi mengatakan dia majhul. Ibn Majah meriwayatkan hadis dalam masalah ini [HN 49], diriwayatkan oleh dua perawi bermasalah. Abu Zar'ah al-Razi mengatakan bahwa Bisyru bin Mansur tidak dikenal, Zahabi mengatakan Abi Zaid itu majhul. Kedua hadis Ibn Majah ini tidak dapat tertolong karena hanya diriwayatkan oleh Ibn Majah sendiri, yaitu "Allah menolak amalan pelaku bid'ah, baik shalatnya, puasanya...dst.
Namun Saya tidak bilang semua hadis ttg bid'ah itu lemah

Ketahuialah "Yang disebut asal/pokok/dasar Agama adalah ibadah mahdhah yang didasarkan oleh nash al-Qur'an dan Hadis yang qat'i. Dia berkategori Syari'ah, bukan fiqh.
Kalau sebuah amalan didasarkan pada dalil yang ternyata dilalahnya (petunjuknya) bersifat zanni maka boleh jadi amalan tersebut akan berbeda satu dengan lainnya. Ini disebabkan zanni al-dalalah memang membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat. Sementara kalau dilalah atau dalalahnya bersifat qat'i maka dia masuk kategori Syari'ah dan setiap hal yang menyimpang dari ketentuan ini dianggap bid'ah. Jadi, sebelum menuduh bid'ah terhadap amalan saudara kita, mari kita periksa dulu apakah ada larangan dari Nabi yang bersifat qat'i (tidak mengandung penafsiran atau takwil lain) terhadap amalan tersebut?"

"Jikalau tidak ada larangan, namun dia melanggar ma'lum minad din bid dharurah (ketentuan agama yang telah menjadi aksioma), maka dia jatuh pada bid'ah. Kalau tidak ada larangan, dan tidak ada ketentuan syari'at yang dilanggar, amalan tersebut statusnya mubah, bukannya bid'ah!"


contoh praktisnya:

Apakah ada larangan memakai alat untuk berzikir (kita kenal dg tasbih atau rosario utk agama lain) ? Meskipun Nabi tidak pernah mencontohkannya, bukan berarti tidak boleh! Adalah benar dalam masalah ibadah berlaku kaidah, 'asal sesuatu dalam ibadah itu haram kecuali ada dalil yg membolehkan atau mewajibkan'. Nah, apakah memakai tasbih itu termasuk ibadah mahdhah atau tidak? Indikasinya adalah apakah zikir kita tetap sah kalau tidak pakai tasbih? tentu saja tetap sah, karena yang disebut ibadah adalah zikirnya, bukan cara menghitung 33 atau 99nya. Tasbih memang dipakai dalam zikir tetapi dia hanya masalah tekhnis. Seseorang bisa jatuh pada bid'ah kalau menganggap wajib hukumnya memakai tasbih untuk berzikir. Tetapi kalau memandang tasbih hanya sebagai alat tekhnis saja, tentu tidakmasalah.
"Ini yang saya maksud dengan membedakan mana ibadah inti dan mana tekhnis ibadah; mana ibadah mahdah dan mana ibadah ghaira mahdhah."
JUDUL ASLI
"Mengulas kembali tentang bid`ah"
WEBSITES http://v-e-Alouisci.blogspot/

HANYA DIRINYA SEORANG

Ibn Ghannam salah seorang murid dari ulama Muhammad bin Abdul Wahhab menuliskan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:

“Aku pada waktu itu tidak mengerti makna la ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam, sebelum kebaikan yang dianugerahkan oleh Allah. Demikian pula guru-guruku, tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut.


Barangsiapa yang berasumsi di antara ulama Aridh (Riyadh) bahwa ia mengetahui makna la ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu ini, atau berasumsi bahwa di antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, berarti ia telah berdusta, mereka-reka (kebohongan), menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya.” (Ibn Ghannam, Tarikh Najd hal. 310).


Perkataan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut termuat pula dalam kitab Beliau sendri yakni Muallafaat, terbitan Jami’ah Ummul Qura Makkah Al Mukarramah pada bagian Ar Rasail Asy Syakhsiyyah halaman 186-187


Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku bahwa sebelum menyebarluaskan ajaran Wahabi tidak mengerti makna la ilaha illallah serta dianggapnya guru-gurunya dan yang lainnya tidak pula mengerti makna la ilaha illallah.


Jadi ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku bahwa beliau sajalah yang dikaruniakan oleh Allah Azza wa Jalla makna la ilaha illallah


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“

Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)


Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)

Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“

Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)


Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.


Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.

Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa

Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya


Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.


Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.

Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)

“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)


Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

Ulama yang dekat dengan Allah adalah ulama yang ihsan atau ulama yang berakhlakul karimah.

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)


Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.


Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.


Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”


Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”


Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”


Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“


Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.


Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam sebuah wawancara menyatakan bahwa “untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki”.


Ulama yang ihsan atau ulama yang berakhlakul karimah adalah ulama telah meraih maqom (derajat) disisi Nya sehingga terbukti dapat menyaksikan Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh) dan akan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam


Firman Allah ta’ala yang artinya,

”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)


“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)


“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)


“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)


Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat.

Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.

Kelima maqamat itu adalah:

al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin


Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)


Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd (hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.


Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas diri-Nya.


Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).


Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, yaitu: (1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.


Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata, lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.


Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah. Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya dengan sungguh-sungguh.


Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).


Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.


Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah.


Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.


Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.


Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah).


Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.


Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.


Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada.


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)


Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)


Wassalam


Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Sumber: http://mutiarazuhud.wordpress.com/tag/makna-la-ilaha-illallah/